Forum Komunikasi Ustadzah

Forum Komunikasi Ustadzah
Kantor FKU

Rabu, 28 April 2010

Konsep Iman dan Kufur Menurut Aliran Teologi Islam (Suatu Analisa Perbandingan) Part 1

PENDAHULUAN

Agenda persoalan yang masalah pertama-tama timbul dalam theologi Islam adalah masalah Iman dan kufur. Persoalan tersebut pertama kali dimunculkan oleh kaum khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW yang mereka pandang telah melakukan dosa besar, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Supyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amer bin Al- Ash, Thalhah bin Ubaidillah. Zubair bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW[1].Masalah ini kemudian dicuatkan oleh golongan khawarij bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.

Pernyataan theologi khawarij seperti itu selanjutnya menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran theology Islam yang tumbuh kemudian seperti aliran Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah turut ambil bagian dalam polemik teresbut, dan tidak jarang didalam masing-masing aliran tersebut terdapat lagi nuansa perbedaan antara pengikutnya.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan diskursus yang berkembang dalam pemikiran aliran-aliran theologi Islam itu, dikhususkan masalah konsep Iman dan kufur serta status pelaku dosa besar. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana status orang yang melkukan dosa besar?, apakah ia masih dimasukkan sebagai orang yang beriman atau kafir?, konsep pokok apa saja yang menjadi inti konsep iman? Dan lainnya.

IMAN DAN KUFUR DALAM ALIRAN THEOLOGI

Konsep iman dan kufur menurut perbincangan aliran theologi Islam seperti yang terlihat dalam berbagai literatur ilmu kalam, acapkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja dari dua term; “iman atau kufur”. Ini dapat dipahami, sebab kesimpulan tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya, juga berarti kesimpulan tentang konsep kufur.

Menurut Hasan Hanafi, setidaknya ada empat istilah kunci biasanya dipergunakan oleh para theology Muslim dalam membicarakan konsep iman[2], yaitu :

  1. Ma’rifah bi al-aql; mengetahui dengan akal
  2. Amal; perbuatan baik atau patuh
  3. Iqrar; pengakuan secara lisan dan
  4. Tasdiq; membenarkan dalam hati

Keempat istilah kunci tersebut terdapat dalam hadits Rasul SAW yang

diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said Al-Khudri, yang artinya:

“Barang siapa diantaramu yang melihat (ma’rifah) kemungkaran, maka hendaklah kamu mengambil tindakkan fisik, jika engkau tidak kuasa, maka rubahlah dengan ucapanmu, jika dengan itupun engkau tidak mampu melakukannya, maka lakukanlah dengan kalbumu (akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.” Uraian dibawah ini merupakan tentang konsep iman dan kufur serta status pelaku dosa besar menurut masing-masing aliran theologi Islam.

A. Aliran Khawarij

Sebagai sebuah aliran yang lahir dari peristiwa politk, maka pendirian theologi Khawarij terutama yang brkaitan masalah iman dan kufur sebenarnya lebih bertendensi pada masalah politis ketimbang ilmiah teoritis. Kebenaran ini tidak dapat disangkal, karena seperti yang telah diungkapkan dalam sejarah Khawarij yang mula-mula memunculkan persoalan theologis seputar makalah “ Apakah Ali dan pendukungnya ialah kafir atau masih tetap mukmin?, Apakah Mu’awiyah dan pendukungnya masih tetap mukmin atau telah menjadi kufur?” Jawaban dari pertanyaan ini yang kemudian menjadi pijakan dasar dari theologi mereka. Dalam hal ini mereka berpendapat, karena Ali dan Mu’awiyah telah melakukan tahkim maka mereka telah melakukan dosa besar dan semua pelaku dosa besar ( murtakib al-kabirah), menurut semua sub sekte aliran khawarij adalah kafir dan disiksa selama-lamanya di dalam neraka kecuali sekte Najdah.

Lain halnya dengan Azariqah, mereka tidak menggunakan kafir pada mereka yang melakukan dosa besar. Istilah yang mereka gunakan adalah musyrik bagi siapa saja umat islam yang tidak mau bergabung dengan mereka. Sedangkan bagi pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti mereka telah keluar dari agama islam serta kelak dalam neraka bersama-sama orang kafir lainnya.[3]

Najdah tidak jauh berbeda dengan Azariqah kepada umat islam yang tidak mau bergabung ke dalam kelompok mereka, maka predikat yang sama disandangkan pula oleh Najdah kepada siapapun umat islam yang secara terus menerus mengerjakan dosa kecil.[4]

Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Akan tetapi mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan.

Tepatnya iman bagi Khawarij merupakan pembenaran dalam hati, diucapkan dengna lidah dan dilakukan dengan perbuatan. Oleh karena itu segala perbuatan yang bersifat keagamaan, adalah merupakan bagian dari keimanan, maka logikanya siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya tetapi tidak melakukan kewajiban agama bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh Khawarij telah dipandang sebagai kafir[5].

Lain halnya dengan sub sekte Khawarij yang moderat yaitu kelompok Ibadiyah memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok Azariqah dan An-Najdah, baginya setiap pelaku dosa besar adalah mukmin yaitu sebagai muwabid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya ia tetap disebut kafir, hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir millah (agama)[6].

Mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai dosa besar dan dapat membawa kekufuran. Agaknya Khawarij tidak menjelaskan secara konseptual, kecuali sekte supriyah. Sekte ini memilah dosa besar menjadi dua bagian.

Pertama. Dosa yang ada hukumannya didunia seperti zina; kedua, dosa yang tidak ada hukumannya didunia seperti meninggalkan shalat dan puasa. Pelaku dosa besar yang pertama tidak dipandang kafir, tetapi pelaku dosa besar yang kedua dengan mereka anggap telah menjadi kafir[7]. Khawarij cenderung menyamaratakan semua perbuatan dosa sebagai dosa besar yang menggiring kepada kekufuran. Dalam paham mereka lebih banyak tertuju pada sangsi langsung bagi seseorang yang melakukan dosa besar.

Hal ini dapat dimengerti karena perbuatan merupakan unsur terpenting dalam konsep iman menurut Khawarij. (BERSAMBUNG)



[1] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, (Kairo: Maktabah Al-Nahdah Al-Misriyyah, 1971), cet.ke-9,h.

[2] Hasan Hanafi, Min al Aqidah ila al-saurah, Maktabah Madbula, bagian ke-5

[3] Muhammad ibn ‘Abd al-karim al-Syahratsani, Al-Milal wa Al-Nihal, (Mesir. Mustofa al-Bab al-Halabi wa awladuh,1967), Juz 1,h.118, 122

[4] Ibid, h. 124

[5] Ahmad Amin, op. cit, h. 259

[6] Al-Syahsatsani, op. cit, h. 134-135

[7] Ibid, h. 101

1 komentar: